Rencana Pembangunan Patung Jokowi di Puncak Gunung Sunu Menuai Saran dan Kritik

buser-indonesia.com-SoE-Saat peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, (HUT-RI), Ke-75 di Istana Kepresidenan pada dua bulan lalu, seantero Indonesia khususnya jagat  Nusa Tenggara Timur,  (NTT), tepatnya masyarakat Noe' Bone, Amanatun Kabupaten Timor Tengah Selatan, (Kab-TTS),  dihebohkan dengan busana adat orang Amanatun wilayah Noe' Bone, yang dikenakan oleh Presiden Repubik Indonesia, (RI), Joko  Widodo, (Jokowi).

Pengenaan busana adat Amanatun Noe' Bone Kab-TTS oleh Presiden Jokowi itu membuat umumnya masyarakat adat pulau Timor merasa terharu, bangga dan senang berbaur menjadi satu.


Bahkan tidak mengurung inisiatif, keinginan dan niat dari salah seorang putera terbaik Amanatun, yaitu Kolonel Simon Kamlasi, untuk hendak mengabadikan momentum yang dinilai paling bersejarah tersebut dalam pembangunan sebuah patung Jokowi berbusana adat Amanatun Noe' Bone di Puncak Gunung Sunu.

Namun pembangunan patung ini ternyata menuai saran dan kritik dari Alumni Ikatan Mahasiswa Amanatun, (IMAN), Kupang.


Pasalnya, rencana pembangunan patung Jokowi tersebut sangat tidak kontekstual dan

tidak mendasar pada kajian sosio antropologi orang Amanatun. Sebab  berbicara soal Amanatun berarti harus mengetahui, tentang empat kefetoran Noe' yakni Noe' Bone, Noe' Bana, Noe' Manumutin dan Noe' Bokong, yang memiliki ciri khas motif masing-masing. Dan motif Amanatun yang dikenakan Presiden adalah mutlak ciri khas orang Amanatun wilayah kefetoran Noe' Bone bukan Noe' Bana. Oleh karena itu, dengan pembangunan patung di puncak gunung Sunu yang merupakan wilayah Noe' Bana, terkesan mengabaikan simbol budaya Noe' Bone.

Jitro Ati, S.Pd, salah satu Alumni Ikatan Mahasiswa Amanatun, (IMAN), Kupang, kepada media ini di Oinlasi Amanatun TTS, Minggu, (01/11/2020), menanyakan seperti apa kesepakatan budaya di antara kefetoran  terkait rencana pembangunan patung Jokowi.


"Motif yang dipakai  Presiden Jokowi merupakan motif Noe' Bone, lalu mengapa patungnya di bangun di Noe' Bana," tanya Jitro. 


Lanjut Jitro, pihaknya sebenarnya sangat berterima kasih atas insiatif pembangunan patung  Presiden Jokowi  mengenakan pakaian adat Amanatun namun pembangunannya tidak kontekstual", ungkapnya. 


Alexander Tamonob, S.H, dikesempatannya malah dengan tegas menolak  pendirian patung Jokowi karena dia menilai pembuatan patung tersebut terkesan mengabaikan simbol budaya Noe' Bone.


 "Pembangunan ini juga tidak mendasar pada kajian sosio antropologi orang Amanatun karena berbicara soal Amanatun maka harus ketahui bahwa ada empat Noe atau fetor' yakni Noe' Bone, Noe' Bana, Noe' Manumutin dan Noe' Bokong. Kefetoran-kefetoran ini  memiliki ciri khas motifnya masing-masing dan motif yang dipakai pak Presiden adalah mutlak motif orang Amanatun wilayah Noe' Bone", timpah dia.


Alexander Tamonob menambahkan sangat tidak elok motif Noe' Bone dicaplok dan dijadikan sebagai simbol kekayaan orang Noe' Bana.


"Kalau pembangunan patungnya tetap di wilayah Noe'Bana Bana maka Ini merupakan pelecahan terhadap hak budaya orang Noe' Bone," tegas Lexi.


Yohanis Missa, SH, juga menyampaikan jika inisiatif pembangunan patung ini tidak didasari pada komunikasi budaya antar empat Noe' di Amanatun maka pihaknya patut menduga bahwa pembangunan patung ini murni didasari oleh kepentingan pribadi yang dapat memicu ketersinggungan antar masyarakat di empat Noe," ungkap Yohanis.


Oleh karena itu, dijelaskan Missa, untuk menenangkan masyarakat yang terlanjur kecewa atas pembangunan patung ini, sebaiknya lokasi pembangunannya dipindahkan ke Kota So'E," paparnya.


Sementara untuk diketahui bahwa pada Jumat, 30 Oktober 2020, Bupati TTS telah resmi meletakan batu pertama pembangunan patung Presiden Jokowi di puncak gunung Sunu. *BT

Komentar